HIDUP FENOMENA ADALAH FATAMORGANA

Bagai
kaki-kaki yang menyeret sunyi yang merintih diatas jalan lembab setelah hujan
reda. Mereka mengetukan luka dan airmata menggesekkan nya keseluruh penjuru
lorong-lorong nadi ku luka yang disimpan sunyi-sunyi yang menyimpan airmata.

Bila
aku ingin menagih janji masa kecil ku tentang nyanyian padi dan daun-daun nyiur
yang membahana dalam gemah ripah mu, maka semakin aku tak ingin, tenggelam
dalam duka yang berkepanjangan tapi, aku juga tak akan berlari hingga disetiap
jalan ku basah tetes airmata.

Senja
jingga menghantar pulang camar-camar yang membawa lepas rindu dalam tidur
panjang para syuhada dan mungkin juga akan terlepas lelap diatas nyanyian
riakmu yang kudengarkan merdu walau sepintas tampak bagaikan sekumpulan jerami
atau perdu ?

Diatas
belukar tarian para punggawa … aku masih dapat mendengarkan nyanyian mu yang
mengiang irama panjang dan begitu dalam merobek di gerbang telinga dan menikam
hati keruh ku.

Mungkin
bagimu aku hanyalah sebuah —- yang hilang arah dalam lautan teduh rindu akan
pencarian cinta ku sendiri karenamu, yang selalu berlayar dan tak ingin menepi
walaupun sesekali aku lihat daratan sunyi yang melambaikan tangan menyapa sepi
ku

Bermain
dan menari dalam mimpi kelam dibawah bulan yang menyusup di balik mendung
kelabu. Ketika saat hendak berhenti atau sebab lelah dan ingin berlabuh aku pun
urung begitu saja karena merasa :

Betapa
hidupku nanti pasti akan sangat sepi sekali dalam penantian dan angan-angan maka biarlah aku akan tetap
mengarungi lautan teduhku sendiri dan akan tetap bermain dan menari dengan
pencarian cinta ku sendiri karena:

Hidup dan matinya cinta ku adalah sebuah
fenomena

Pencarian dan penantian ku adalah sebuah
fatamorgana

Maka aku akan tetap begini tak lebih
dari sebuah —- (bagimu ?)

Comentários:

Posting Komentar

 
RENUNGAN JIWA © Copyright 2013 | Design By Haries Budjana |