30 SEPTEMBER 2010

Dia buah cinta kita, kamu yang membuat aku melahirkannya.

Sejak nafasnya nyata di dunia, kita mulai mengenal arti kata bahagia.

Kita bercita-cita untuk membesarkannya bersama dengan penuh cinta, hingga kita tutup usia.



***


(sembilan bulan yang lalu)


Langit merona jingga saat hatiku bersenandung lirih mengiringi kepergianmu. Aku dan dia menatapmu yang melangkah menjauh. Kamu pergi tanpa sedikitpun peduli padaku dan padanya, kami terpaksa harus bersahabat dengan sepi. Kamu hanya sempat mengatakan padaku bahwa jika kita berjodoh, kamu pasti kembali.


Hari-hari kulalui dengan peluh perjuangan. Aku berusaha membendung pedih menjaga dia sendiri. Gundah tak henti memerih karna aku tak hanya harus terus menghibur diriku, tapi juga dia. Aku dan dia sama-sama dirundung gelisah merindukan kehadiranmu.


Jenuh menyelimuti kalbu, tubuhku kian meringkih, namun aku masih terus menunggumu bersama dia. Aku tau aku sanggup, walau sesungguhnya aku tak mau berdiri tanpamu.


***


(tujuh bulan yang lalu)


Letih mulai merajam setiap persendianku. Terkadang aku tak mampu bertahan untuk tidak merintih saat dia mengeluh padaku.


Setiap hari dia menangis mempertanyakan kepulanganmu, dan aku hampir gila memikirkan bagaimana menjawabnya. Aku tak pernah bisa memberinya jawaban pasti. Ya, karna memang tak pernah ada kepastian kapan kamu akan pulang.


***


(lima bulan yang lalu)


Dia sekarat, entah apa yang menyumbat nafasnya, kian hari kian melambat. Aku tertatih, aku hampir kehabisan daya untuk menjaganya. Hasrat gejolak jiwaku merindu secercah cerah yang tak kunjung datang menghampiri.


***


(tiga bulan yang lalu)


Dia selalu mengisak di tengah sesaknya, dan aku tak tahan lagi. Aku memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Aku terpaksa membunuh dia karna ternyata aku tak sanggup menghidupinya seorang diri.


Air mataku menggenang mengenangmu saat kukuburkan dia di tempat pertama kali kita mengenalkan cinta padanya. Ya, sengaja aku menguburkan dia dengan tanganku sendiri di sana, untukmu.


***


(hari ini)


Kamu kembali, dan tanpa basa basi panjang kamu langsung mempertanyakan keberadaan dia. Sesaat aku ragu, ingin rasanya aku mendustaimu dengan mengatakan bahwa dia sedang tidur, tapi itu sangat mustahil karna kamu tak akan menemukan dia di atas kasur. Rasanya aku benar-benar ingin lari saat kamu terus memaksaku untuk jujur!


Kamu menghujam aku dengan beribu pertanyaan, dan aku hanya bisa terus diam sambil menahan sakitnya cengkraman eratmu di kedua lenganku. Diamku ternyata membuat nada bicaramu meninggi, menandakan amarahmu mulai tak tertahankan.


Sudah saatnya untuk jujur padamu sebelum kamu semakin geram dan menganiaya aku. Aku takut, takut kamu menganiaya aku seperti yang selalu terjadi setiap kali kita terlibat dalam pertengkaran hebat saat kita sedang silang pendapat. Ketakutan itu yang akhirnya menguatkan aku untuk mengucap kebenaran. Walau aku yakin kebenaran itu pasti akan sangat memilukan hatimu, tapi aku tak punya pilihan lain.


“ Dia sudah tiada . . ”


Suasana menjadi amat hening. Kita mematung, sama sekali tidak bergeming.


Beberapa saat kemudian wajahmu mulai memerah, dan tangismupun pecah.


Aku tahu hatimu bersimbah darah karna tak sanggup menanggung pedihnya kehilangan. Aku tahu itu. Aku tahu dengan sangat jelas, akupun pernah merasakannya. Merasakannya sendiri, tanpamu.


” Maaf ” kata itu mengalir begitu saja dari bibirku saat menatap banjir di pelupuk matamu.


” Maaf bukannya aku tak mau, tapi aku tak mampu. . Sungguh, aku tak mampu, dayaku berbatas dan batas itu sudah mencapai limitnya saat kamu belum kembali ke sisiku. Saat itu kamu tak ada untuk membantuku, jadi aku terpaksa membunuhnya. ” hanya itu penjelasan yang mampu kuberikan padamu.


Sepuluh menit berlalu menemani kita yang membisu.


Lalu kuputuskan untuk meninggalkanmu bersama keterpurukanmu yang tak lagi mampu merengkuh aku dalam pelukmu.


________________


Maafkan aku, aku bahkan tak mungkin melahirkan dia yang baru karna aku tahu aku tak akan pernah mampu menjaganya untukmu. Waktu telah membuktikan ketidaksanggupanku melalui sekian hari merawatnya seorang diri. Aku takkan pernah siap menghidupinya jika suatu hari kamu pergi lagi, walau aku yakin kamu pasti akan kembali, seperti yang terjadi hari ini. Aku yakin, bahkan sangat yakin, karna ini bukanlah yang pertama kalinya, siklus ini sudah berulang tiga kali. Aku berusaha menerima kepergianmu yang keempat, aku benar-benar berjuang, tapi maaf karna ternyata rasaku mati di tengah perjuanganku. Rasaku mati, aku membunuhnya. Aku terpaksa membunuhnya karna aku tak ingin keberadaannya membuat aku menerimamu kembali.


Saat aku menguburnya bersama cita-cita kita, matanya terpejam dan bibirnya melukiskan senyum yang termanis, karna hatiku telah ikhlas memaafkan empat kali perselingkuhanmu. Mulai sekarang, tak perlu kamu membuang waktu untuk berusaha menghidupkannya kembali, dia telah terbaring dengan tenang untuk selamanya,

s e l a m a n y a.


Kamu boleh menganggap aku kalah. Tapi aku tidak kalah, aku hanya menyerah untuk bertahan melihat kamu bersama yang lain, aku tak sanggup lagi bertahan setelah sekian kali melihat peranku dimainkan oleh ‘aku’-mu yang lain.



Jangan pernah lagi mempertanyakan keberadaannya padaku, dia sudah mati, aku yang membunuhnya. Dia tidak akan pernah kembali, aku sudah menguburnya di tempat pertama kali kita mengenalkan cinta padanya.

Comentários:

Posting Komentar

 
RENUNGAN JIWA © Copyright 2013 | Design By Haries Budjana |