Pukul enam sore, ketika hujan merobek-robek lukisan senja
yang akhirnya lelah, berbutir-butir bening sisa gerimis jatuh di jalan beraspal
–
hujan melukis dimana saja
– hujan melukis apa saja
Irama musik dimainkan oleh
beribu-ribu fenomena seisi alam, sementara aku masih mencari pada setiap
lampu-lampu jalan yang mulai menyala.
Hujan, jalan yang beraspal,
debu yang di lumat habis, lukisan senja yang terobek-robek, dan lampu-lampu
jalan: “Adalah rindu ku yang mengental”.
Yang
tak hendak aku buang, tentang :
Tak
pernah ada rupa dan tak pernah kudengar tawa dari wajahmu yang kumimpikan
lembut, dari tanganmu yang kuinginkan tulus, kecuali kata-kata rapih tersusun
dalam setiap suratmu berebut tempat di kabur mataku hingga menggumpalkan darah
di pikiran ku.
Usai
nanti hari berganti, musim bergulir pada matahari, pada bulan, dan
bintang-bintang pun menari diatas gersang tandus tanahku yang sepi. Aku mengeja
kata-katamu lagi, menulisnya kembali pada bayang-bayang tubuh kurusku. Tersusun
diatas gersang tandus tanahku yang sepi
Berharap
tenggelam di kubangan lumpur sanubari dari hujan musim semi
Yang menjilati sepi :
– begitu bila aku ingin melihatmu tersenyum
– begitu bila aku ingin mendengar tawamu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)











Posting Komentar