PUKUL ENAM SORE

Pukul enam sore, ketika hujan merobek-robek lukisan senja
yang akhirnya lelah, berbutir-butir bening sisa gerimis jatuh di jalan beraspal


hujan melukis dimana saja
– hujan melukis apa saja

Irama musik dimainkan oleh
beribu-ribu fenomena seisi alam, sementara aku masih mencari pada setiap
lampu-lampu jalan yang mulai menyala.

Hujan, jalan yang beraspal,
debu yang di lumat habis, lukisan senja yang terobek-robek, dan lampu-lampu
jalan: “Adalah rindu ku yang mengental”.



Yang
tak hendak aku buang, tentang :

Tak
pernah ada rupa dan tak pernah kudengar tawa dari wajahmu yang kumimpikan
lembut, dari tanganmu yang kuinginkan tulus, kecuali kata-kata rapih tersusun
dalam setiap suratmu berebut tempat di kabur mataku hingga menggumpalkan darah
di pikiran ku.

Usai
nanti hari berganti, musim bergulir pada matahari, pada bulan, dan
bintang-bintang pun menari diatas gersang tandus tanahku yang sepi. Aku mengeja
kata-katamu lagi, menulisnya kembali pada bayang-bayang tubuh kurusku. Tersusun
diatas gersang tandus tanahku yang sepi

Berharap
tenggelam di kubangan lumpur sanubari dari hujan musim semi

Yang menjilati sepi :

– begitu bila aku ingin melihatmu tersenyum

– begitu bila aku ingin mendengar tawamu

Comentários:

Posting Komentar

 
RENUNGAN JIWA © Copyright 2013 | Design By Haries Budjana |