Julie Andrews’s Note (Episode 3)

Julie dan William keluar dari kantor polisi. Mereka tidak langsung ke kantor, tapi malah kembali ke kedai yang tadi mereka datangi.

“Kasus yang berat,” ujar William.

“Berat karena Alicia seorang aktris,” sahut Julie. “Kalau memang ia melakukannya, tamatlah karirnya.”

Julie memesan kopi dan sepiring kecil pancake dengan topping madu. Ia menyesap kopi itu, lalu dengan santainya memakan pancake yang masih hangat.

“Julie. Kau baru saja makan siang dan sekarang kau makan pancake. Kau tidak takut kalori menumpuk dalam tubuhmu?”

“Diamlah, tutup saja mulutmu. Aku sedang tidak ingin berdebat soal selera makanku. Kau pasti masih ingat kalau nafsu makanku bertambah jika aku sedang stress.”

“Tidak,” sahut William dengan keheranan. “Aku tidak ingat hal itu. Apa kau benar – benar sedang stress, Julie?”

“Oh, great! Ini sangat konyol. Aku baru saja mempertontonkan ketololanku kepadamu.”

“Hahaha…. Sudahlah, Julie. Kau tidak perlu menjaga citramu di depanku. Bagiku, kau masih Julie yang dulu. Aku tidak akan menyimpan dendam itu walaupun kau pergi meninggalkan aku.”

“Jadi kau ingin membongkar masa lalu kita, Bill? Itukah yang kau inginkan sebenarnya ketika memutuskan pindah kemari? Apa kau tidak bisa menemukan wanita lain selain aku, Bill? Dan kau masih saja memuja minuman beralkohol itu. Bahkan fakta itu bisa berhembus dari New York ke San Francisco.”

“Julie. Bukan itu maksudku.”

“Lalu dari mana kau mengenal suamiku? Maksudku, dari mana kau tahu kalau aku sudah menikah dengan Steve Howard, yang merupakan pemilik firma Howard and Friend?”

“Julie. Aku benar – benar tidak mengerti pertanyaanmu. Tapi akan kucoba untuk menjelaskan hal ini padamu.”

Willliam berhenti sejenak untuk menarik napas panjang.

“Aku dipecat dari firmaku di New York,” lanjut William.

“Apa?! Dipecat?”

“Ya. Rupanya atasanku sudah bosan memiliki anak buah yang hobinya mabuk. Puncaknya adalah ketika salah satu dari mereka memergoki aku sedang membawa wanita malam untuk menginap di hotel. Keesokan harinya, aku langsung dipecat.”

“Oh, Bill. Benarkah itu?”

“Ya, itu benar.”

“Berarti kau bodoh.”

“Julie. Aku tidak tahu ada apa denganmu? Tapi, sejak kapan kau mulai berubah? Nampaknya sekarang kau dengan mudahnya mengucapkan kata bodoh dalam setiap kalimat.”

“Well, ternyata benar apa yang dikatakan Alicia tadi.”

“Apa itu?”

“Kau sudah berubah menjadi Tuan Sok Tahu. Apa yang kau lihat sehingga berani menuduhku telah berubah? Kau tidak tahu apa – apa, Bill. Jangan merasa kau terlalu mengenalku sekarang. Julie yang berumur delapan belas tahun sudah tidak sama lagi dengan Julie yang sekarang ada di hadapanmu.”

“Oh, maafkan aku, Julie. Aku tidak berniat mencampuri urusanmu. Aku hanya melihat sepertinya ada sesuatu yang terjadi padamu. Aku tak tahu apa itu. Tapi…, ah, sudahlah.”

Keduanya terdiam. Julie sibuk menghabiskan sisa kopi di cangkir. Sementara William hanya bisa memandang wanita di hadapannya dengan rasa heran yang menumpuk.

William merasa, Julie memang sedang ada masalah. Jadi, apakah benar soal gosip yang beredar di luar bahwa Steve Howard adalah seorang playboy? Jika melihat perilaku Julie sekarang, nampaknya hal itu memang benar, pikir William.

“Sudah pukul lima. Kau mau aku antar kembali ke kantor?” tanya Julie.

“Oh, tidak perlu. Aku langsung pulang saja,” jawab William.

“Kau tinggal dimana sekarang?”

“Tak jauh dari sini. Sekitar lima blok. Redleaf Building.”

“Baik. Aku akan mengantarmu pulang.”

Julie bangkit dari duduknya lalu meninggalkan dua lembar sepuluh dolar di meja. William mengikutinya dari belakang.

Setengah jam kemudian, mereka sampai di depan apartemen William.

“Kau mau mampir dulu, Julie?”

“Lain kali saja, Bill,” jawab Julie. “Hmm…, soal perkataanku di kedai tadi. Anggap saja aku tidak pernah mengatakannya. Aku hanya terlalu lelah dengan pekerjaan sehingga banyak meracau seperti tadi.”

“Tidak apa – apa. Aku bisa mengerti itu. Lain kali kita bisa bicarakan hal itu. Julie…. Aku masih temanmu. Kalau kau sedang menghadapi masalah, apapun itu, aku harap kau bisa ceritakan padaku. Mungkin aku tak bisa menyediakan solusi buatmu. Tapi paling tidak, aku bisa mendengarkan.”

“Terima kasih, Bill,” sahut Julie sambil tersenyum. “Aku akan pertimbangkan hal itu.”

William turun dari mobil dan berlalu menuju gedung apartemen.

Sementara itu, Julie masih belum menjalankan mobilnya. Ia mengambil ponsel dan menekan speed dial untuk nomor Steve.

“Halo, Steve. Kau masih di kantor?”

“Tidak, aku sudah keluar dari kantor, sayang. Tapi aku belum bisa pulang ke rumah. Ada seorang klien yang mengajak bertemu di restoran sambil membicarakan kasusnya. Kau tahu, Robert Smith, dari perusahaan kosmetik Glamms. Kau pulanglah dulu.”

“Baiklah. Sampai jumpa di rumah.”

“Hey, Julie. Bagaimana pertemuan dengan Alicia Jensen tadi?”

“Seperti biasa, masih abu – abu. Kita bicarakan nanti di kantor.”

Julie memutuskan sambungan telepon. Tapi ia pun masih belum ingin menjalankan mobilnya. Ia masih membuka fitur GPS di ponselnya. Ia ingin melacak keberadaan Steve. Apakah benar Steve sedang berada di restoran seperti yang baru saja dikatakan?

Titik yang kelap – kelip di layar ponsel Julie sudah berhenti di satu tempat. Rasanya Julie tahu dimana alamat itu. Ia lalu menjalankan mobilnya menuju tempat itu.

(to be continued)

gambar nyomot di google

Karya: Sekar Mayang

Comentários:

Posting Komentar

 
RENUNGAN JIWA © Copyright 2013 | Design By Haries Budjana |