Oleh: Sekar Mayang (no.12)
Aku melihat Putri sudah duduk di bangku taman tak jauh dari tempatku berdiri. Ia belum melihatku karena aku sengaja berdiri di balik rerimbunan pohon. Lagipula, ia belum mengenalku. Jadi sekalipun ia melihatku, ia tak akan bereaksi.
Putri adalah seorang gadis yang cantik. Ia jauh lebih muda dariku. Mungkin sekitar enam tahun di bawahku. Kulitnya putih dan posturnya proporsional. So far, I can say that she’s perfect. Tapi aku belum mengenalnya lebih jauh. Ini pertemuan pertama antara aku dan dia.
Aku mengenal Putri dari sebuah situs pertemanan. Akulah yang pertama kali mengirim request untuk berteman dan dalam beberapa menit saja, ia langsung menerimaku sebagai temannya. Ia adalah teman Rio. Dan sepertinya tak bisa begitu saja aku sebut sebagai teman biasa.
Bagaimana aku bisa tahu hal itu? Tentu saja Rio sendiri yang mengatakan padaku. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Karena aku pun dekat dengan Rio ketika dirinya telah bersama orang lain.
Putri melihatku dan sepertinya ia mulai curiga. Jadi aku berinisiatif untuk menghampirinya yang masih terduduk di bangku taman. Ketika tinggal beberapa langkah lagi jarakku dengan dirinya, ia beranjak dari duduknya seolah ingin menyambutku. Tapi yang ia lakukan hanya menunjukkan raut wajah penasaran.
“Mbak Vania?” tanyanya.
“Iya,” jawabku berusaha ramah.
“Aku Putri, Mbak.”
“Aku tahu. Aku sudah mengamatimu dari kejauhan sejak kau tiba di bangku taman ini setengah jam yang lalu.”
Mendengar jawabanku, Putri langsung tertunduk malu. Ia nampak canggung. Tanpa ia persilahkan, aku langsung duduk di bangku taman yang nampak sudah pudar catnya. Dan ia pun mengikuti apa yang kulakukan.
Lama kami terdiam, hanya riuh kicauan dari segerombolan burung gereja yang terdengar. Aku sengaja tidak memulai pembicaraan. Aku menunggunya mengatakan sesuatu.
“Apa kabarmu, Mbak?”
Akhirnya Putri angkat bicara.
“Kabarku baik. Bagaimana denganmu sendiri?” tanyaku sambil tetap berusaha bersikap ramah.
“Aku juga baik – baik saja, Mbak,” jawabnya.
Lagi, hening menguasai percakapan kami. Dan aku sangat tidak tahan dengan situasi canggung seperti ini.
“Putri. Listen to me! Aku tidak punya waktu banyak sore ini. Jadi katakan saja apa yang hendak kau sampaikan padaku.”
“Aku… aku….” Putri jadi tergagap.
“Oh… oke…. Mungkin aku terlalu kasar padamu. Tapi aku bukanlah orang yang hendak menjauhkanmu dari Rio. Kau paham maksudku, kan?!”
“Sebenarnya aku tidak ingin membicarakan soal Rio pada pertemuan kita kali ini, Mbak.”
“Lantas apalagi kalau bukan soal dia?”
“Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat lagi, sebagai sahabat, bukan sebagai rival untuk mendapatkan hati Rio. Aku juga tahu, Mbak, Rio dekat dengan banyak wanita.”
“Putri….”
“Ya, Mbak….”
“Aku tidak mengerti maksud perkataanmu.”
“Mbak…. Kita menyayangi pria yang sama. Dan rasa sayang kita itu sebenarnya tidak pada tempatnya.”
“Oke…. Aku paham kalimat terakhirmu. Tapi aku tidak mengerti kalimatmu yang sebelumnya.”
“Kalimat yang mana, Mbak?”
“Begini saja, Putri. Aku rasa kau salah paham soal kedekatanku dengan Rio. Aku mengenal Rio jauh sebelum kau mengenalnya. Dan memang benar aku dekat dengan Rio, tapi itu tidak seperti yang kau bayangkan sebelumnya. Aku dan Rio hanya berteman, tidak lebih. Jadi silahkan saja jika kau ingin mendapatkan perhatian lebih dari Rio. Aku tidak akan melarangmu.”
Ah, aku berbohong lagi kali ini. Aku tidak tahu, apakah Putri percaya atau tidak pada kata – kata yang baru saja kulontarkan. Jujur, aku tidak peduli itu.
***
Mbak Vania di mana sekarang? Aku sudah di taman kota sekarang. Aku duduk di bangku taman, tempat yang Mbak katakan tempo hari. Ini sudah lewat dari jam empat sore, sudah lewat dari jam yang kita sepakati kemarin. Apakah Mbak benar – benar tidak bisa datang? Tolong kabari aku secepatnya.
Isi pesan singkat itu masih terpajang di layar ponselku. Sudah lima belas menit yang lalu aku menerima pesan itu. Aku belum membalasnya, dan sepertinya tidak berniat untuk membalasnya.
Aku masih berdiri di tempat yang sama, di dekat rerimbunan pohon di salah satu sudut taman kota. Aku masih melihat sosok gadis di bangku taman itu. Sosoknya yang sedang cemas menanti kedatanganku. Aku ingin sekali menghampirinya dan mengatakan banyak hal kepadanya. Bahwa aku tidak sekedar menyayangi Rio. Aku memang mencintainya dan menginginkan pria itu hanya untukku, walaupun itu menjadi keinginan yang sangat absurd. Aku pergi menjauh dari rerimbunan pohon, dan menjauhkan pandanganku dari sosok gadis itu.
Aku berjalan menuju tepian danau yang ada di areal taman kota. Danau itu tidak besar, tapi benar – benar menyuguhkan pemandangan yang menyejukkan indera pennglihatanku. Sejenak aku seolah lupa tujuan semula aku mendatangi taman ini. Tapi nyatanya hal itu tidak mungkin bisa hilang dari benakku.
Aku dihadapkan pada situasi yang sulit untuk memilih. Maka di sinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…. Agar aku diberikan sedikit saja kekuatan untuk menghilangkan kenangan yang seharusnya tak tertoreh kala itu….
gambar nyomot di google
Comentários:
Posting Komentar